Pos blog ini kupersembahkan buat My Ama21ng Family,
khususnya teman-teman seperjuangan dalam pendakian Gunung Batukaru pada tanggal
19 Juli 2014 (Anthony, Herry, Wahyu, Rustiari, Andrie, Apolo, Dhitayoni, Arjuna, Cok, Nuge, Fian, De Giwal, Renaldi, Reno, Gus Desi, Yogi, dan Ardika) dan juga beberapa teman-temanku dari Calsequestrin (Ari, Risa dan
Gung Bayu).
19 Juli 2014
Pukul 4 dini hari, beberapa orang dari rombongan sudah
bangun buat memasak air untuk menyeduh mie instan masing-masing. Inilah sarapan
kami untuk mengawali pendakian hari ini.
Kemudian, pukul setengah enam pagi, setelah semuanya sudah beres-beres,
mempersiapkan perlengkapan mendaki masing-masing, sebelum berangkat, kami masih
sempat untuk foto bersama. Oh ya, salah satu teman kami Ardika mengundurkan
diri untuk tidak ikut mendaki karena suatu hal dan kini rombongan ini jumlahnya
menjadi genap 20 orang.
Kami pun berangkat- masih mengendarai motor dan 1 mobil
dimana nantinya menjadi tempat untuk meletakkan barang-barang yang tidak dibawa
dalam pendakian. Akhirnya kami tiba di suatu tempat (saya menyebutnya pintu gerbang
Gn. Batu Karu – 900 mdpl) dimana mulai dari situ semuanya akan ditempuh dengan
berjalan kaki saja.
Gunung Batukaru terletak di Wangaya Gede Tabanan, Bali,
dengan ketinggian 2276 meter di atas permukaan laut, merupakan gunung tertinggi
kedua di Bali setelah Gunung Agung (3142 mdpl). Jalan setapak yang dilalui dikelilingi
hutan lebat, dan kebanyakan berupa tanah dan akar pohon. Jalannya agak
licin, entah itu sisa-sisa hujan kemarin
atau memang sudah begitu dari sananya. Hutan
yang cukup lembab menjadi habitat yang baik buat pacet atau lintah. Benar saja,
beberapa kali saya menyentuh tanaman atau batang pohon, ada saja lintah yang
sudah menari-nari di jari tangan saya. Untungnya sebelum mendaki kami sudah
tahu soal lintah-lintah ini, jadi sudah sempat mempersiapkan air garam dan air
tembakau , kami juga sebisanya menggenakan pakaian serba tertutup.
Kami tak mendapatkan seorang pemandu untuk pendakian ini, dan tak seorang pun dari rombongan ini pernah mendaki Gunung
Batukaru sebelumnya. Bahkan, Ari salah satu dari rombongan kami yang
ternyata adalah local boy juga belum pernah menjelajahi Batukaru, dan kami
mempercayainya untuk berada di baris terdepan. Ada senior-senior kami yang sudah pernah mendaki Gn. Batukaru tanpa pemandu, dan dari merekalah kami mendapatkan banyak informasi.Mereka bilang ikuti saja jalan
setapak sempit yang sudah ada, dan di sepanjang jalan ada plastik-plastik yang diikat di pohon
atau botol-botol plastik yang disangkutkan di dahan-dahan pohon sebagai penanda kalo itu adalah jalan
yang benar. Baiklah, kalo mereka bisa, kami pun pasti bisa!
Memberi
tanda secara konsisten berupa tali plastik biru disetiap percabangan, dan di
tempat-tempat yang menghasilkan kebingungan supaya pulangnya gak nyasar
Sesekali
melihat kompas juga dong ya!
Plang kuning - 1700 mdpl dan plang-plang lainya menjadi
salah satu motivasi untuk melanjutkan perjalanan mencapai puncak
Mulai
dari 900 mdpl sampai 2276 mdpl, paling
banyak melihat pohon, lumut, dan tumbuhan paku. Pohon kecil, pohon sedang,
pohon besar, pohon yang batangnya
dipenuhi lumut, pohon tumbang, dan pohon lainnya yang tidak bisa disebutkan
satu persatu. Yah pemandangan yang cukup monotonlah…
Sekitar
pukul 12.30 WITA kami tiba di Pura Puncak Kedaton yang merupakan puncak Gunung
Batukaru. Tidak seperti Gunung Batur atau
gunung lainnya yang menyuguhkan pemandangan indah untuk dinikmati dari
atas puncaknya, di Puncak Gunung Batukaru, Anda hanya akan melihat Pura dan
sebuah plang bertuliskan PURA PUNCAK KEDATON. Pantas saja Gunung Batukaru
memang lebih populer sebagai wisata spiritual.
Bersama cewek-cewek Ama21ing yang tangguh, perkasa, luar biasaaaa!!!!
Kira-kira selama satu setengah jam saja kami berada di
puncak, dan setelah selesai makan, sembahyang, dan foto-foto kami pun langsung
bergerak untuk turun. Memang tidak perlu berlama-lama, apalagi kami harus
mengejar waktu sebelum hari mulai gelap. Untuk naik ke puncak kami menghabiskan
waktu kurang lebih 6 jam (udah termasuk berhenti beberapa kali untuk istirahat,
sembahyang, dan foto-foto), lebih cepat dari perkiraan sebelumnya yaitu 8-10
jam. Maka, target kami untuk perjalanan
turun adalah kurang dari 6 jam atau maksimal sudah di pintu gerbang Gn.
Batukaru atau di ketinggian 900 mdpl pada
pukul enam sore.
Oke, jadi cerita di atas sebenarnya baru intro aja, sekarang
saya mau cerita soal perjalanan turun dari Gunung Batukaru. Karena
sesungguhnya, menurut saya, inilah klimaksnya. Oh ya mulai dari sini saya akan
menggunakan bahasa yang gak baku. So, biasain aja ya!
Gak seperti perjalanan waktu naik, pada saat perjalanan
turun kami terpecah menjadi 2 kelompok, biar gampang sebut aja “kelompok yang duluan” dan “kelompok yang
belakangan”, dan aku berada di kelompok yang belakangan bersama tujuh orang
lainnya (Apolo, Nuge, Cok, Wahyu, Gung Bayu, Gusdesi, dan Risa). Pertama perlu aku
ingatkan, adanya istilah kelompok duluan dan kelompok belakangan ini hanya
untuk mempermudah pemahaman untuk cerita selanjutnya aja.
Jadi kenapa bisa ada 2 kelompok ini? Jawabannya adalah karna
aku.
Nah, di kelompok dimana aku berada ini, aku diletakkan di
baris terdepan. Teman-temanku adalah orang-orang yang cukup pengertian, mereka
gak bakal meletakkanku di pertengahan barisan , karna itu artinya akan terjadi
perpecahan kelompok lagi. Atau mereka lebih gak mungkin meletakkanku di baris
paling belakang, karena yang terjadi berikutnya aku bakal ketinggalan jauh,
sendirian dan kesasar – percayalah, ini lebih merepotkan.
Hal yang selanjutnya terjadi adalah jari-jariku mulai ngerasa
sakit, sepertinya karna perjalanan menurun, gesekan antar jari kaki dan sepatu
jadi semakin besar, jadinya perih. Dan kira-kira di sepertiga perjalanan turun
di setiap turunan lututku mulai gemetaran. Sepertinya aku terserang hipoglikemia.
Baru setengah perjalanan, dan aku udah
benar-benar lemas. Persedian makanan dan minuman udah gak ada sama sekali. Aku
masih menahan perih di jari-jari kaki, tapi aku gak berani mengucapkan kata
sakit sama sekali. Ketika melalui turunan yang sebenarnya gak terlalu curam pun
lututku udah gak sanggup. Aku lebih memilih buat ngesot. Gak peduli tangan dan
badanku udah kena tanah. Gak peduli lagi kalo ada lintah di setiap batang pohon
tempat aku berpegang ketika jalan. Disaat itu hanya ada 6 orang saja termasuk
aku. Gusdesi dan Risa sudah menyusul kelompok yang duluan jauh sebelum
keadaanku makin parah. Perjalanan kami benar-benar santai (re : lelet) Aku
ingat, Apolo dari awal hingga sampai detik itu dengan konstan masih bernyanyi-nyanyi
dan bercuap-cuap tiada henti, membuat suasana ceria dan ramai. Aku juga masih
ingat Apolo, Nuge, Cok, Wahyu, dan Gung Bayu juga sempat bermain radio-radioan
sepanjang perjalanan. Aku dengar semua celotehan mereka, aku ingat semua. Tak
ada masalah dengan pikiranku, aku tak merasa pusing, dan pandanganku juga tak
kabur, hanya lututku yang gemetaran dan
tak stabil serta jari-jari kakiku yang sakit.. Aku tak bisa pingsan dan aku
memang tak mau pingsan. Sudah cukup rasanya melibatkan teman-temanku ikut acara
jalan santai ini. Akhirnya aku tak sanggup melangkah dengan kaki sendiri, aku
goyang. Apolo mengulurkan tangannya, dan aku bertopang pada Apolo. Kedua
tanganku berpegang padanya, dia menahan setengah berat badanku. Dan dia masih tetap kelihatan bersemangat. Benar-benar wanita tangguh.
Tiba-tiba gerimis, lalu disusul oleh air mataku. Ya, aku
menangis. Cepat-cepat kuhapus airmataku, soalnya aku malu. Beberapa saat kemudian Nuge
sempat bertanya padaku dan Apolo tentang hal apa yang akan dilakukan setalah
sampai di end point. Aku jawab kalo aku mau langsung tepar, tapi sesungguhnya
aku bohong. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan selain tepar.
Hujan makin deras, hari sudah benar-benar gelap, dan aku
mendengar ada yang datang, kupikir kami sudah mendekati end point, tapi
ternyata belum. Gusdesi dan Reno datang menjemput kami. Apolo masih setia menopangku, dan Gusdesi
langsung membantu menuntunkun dari belakang. Saat itu aku mulai nangis lagi, kali ini terisak-isak (parah!). Aku berjalan sambil menunduk saja, tak melihat jalan ke depan lagi. Aku dituntun bagai orang buta, aku benar-benar
tak berdaya.
Akhirnya, kami tiba di 900 mdpl. Disana, teman-teman kami
yang lain sudah menanti penuh tanda tanya.. Langsung kupeluk Apolo, Gusdesi, Nuge,
dan teman-temanku yang lain sambil mengucapkan terimakasih dengan suaraku yang
gemetaran. Jadi, itulah hal pertama yang kulakukan sesampainya di end point.
Terimakasih teman-temanku.
Aku menangis bukan karna rasa sakit atau karna takut mati. Aku
gak punya alasan buat takut nyasar atau mati di tengah hutan karna aku percaya
kalian gak akan meninggalkanku. Kita tidak akan meninggalkan satu satu sama
lain kan…
Saat kalian memegang tanganku, menopangku, menuntunku, dan
setiap kata-kata penyemangat yang kalian lontarkan membuatku terharu dan sangat
menyentuh hati. Kalian bagaikan cheerleaders dalam pertarunganku melawan rasa
takut dan letih.
Gunung Batukaru memang tak seindah yang kuharapkan. Tapi pendakian ini telah memberiku pelajaran berharga : menahan diri untuk tidak berkeluh
kesah, tidak egois, menghormati alam sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, serta
yang terpenting mengajarkan makna sebuah persahabatan.
Pendakian ini tidak akan membuatku kapok. Aku masih mau kok
ikut pendakian berikutnya, asal bersama kalian (hehehe) Maaf ya, sudah banyak
merepotkan.
Oh ya, salah satu dari kalian yang membaca kisah ini pasti
ada yang berpikir : sumpah Putri ini lebay banget! Karna aku sendiri pun
berpikir apa yang aku tulis ini memang agak lebay :P Tapi yasudahlah, untuk
saat ini aku gak peduli. Aku hanya menuliskan apa yang terlintas di kepalaku.
Sekali lagi, terimakasih banyak teman-teman. Maaf kalo aku
belum bisa membalas kebaikan kalian. Aku berdoa semoga Tuhan yang membalas segala kebaikan hati kalian dan
melalui tulisan ini aku ingin mengungkapkan rasa terimakasihku yang besar. Aku
sayang kalian semua. Maafkan kealayan saya, tolong dimaklumi sebesar-besarnya, kisah ini emang agak-agak ya, tapi percayalah ini kisah nyata!
FYI, beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan selama
mendaki di Gunung Batukaru :
1. Jangan bilang
“ngindih yeh” karna dalam Bahasa Indonesia itu artinya minta air dan konon
datang hujan setelah itu.
2. Jangan bilang
capek, konon perjalanan terasa semakin jauh.
3. Konon disana ada “due macan putih” atau penunggu hutan berwujud macan. Jadi
jangan sebut macan.
Kita boleh percaya boleh tidak. Tapi menurut saya pribadi : “Dimana
bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Anggap saja kita sedang bertamu ke
rumah orang, maka sudah sewajarnya kita berlaku sopan. Atau kalo kita percaya
bahwa gunung beserta isinya itu adalah ciptaan Tuhan, maka sudah seharusnya kita
menjaga dan tidak merusaknya. Secara pribadi, menurut saya makna dari pantangan-pantangan
tersebut yaitu membuat saya belajar untuk menahan diri, mengendalikan emosi,
dan menjauhkan pikiran-pikiran kotor dan jahat. Dan saya yakin bahwa salah satu
tujuan sebuah pendakian adalah untuk memuja karya tangan Tuhan Yang Maha Esa
dan mensyukurinya. Sekian dan Terimakasih ^_^
Hard times will always reveal true friends