Setelah ber-dada-didi dengan Gili Trawangan, lupa tepatnya jam berapa, tapi saat itu langit masih terang, saya dan Emily pun cus mencari penginapan di sekitar Pantai Senggigi, dan kami masih melewati jalan yang sama dengan jalan berangkat kemarin. Sepanjang perjalanan masih galau mau menentukan mau nginap dimana : di Senggigi atau di Mataram. Pertimbangannya, kalo di Mataram bisa dapat penginapan murah (dibawah 100ribu per malam) tapi gak ada yang bisa dilihat. Sedangkan kalo di Senggigi, penginapannya lebih mahal, tapi banyak yang bisa dikunjungi. Akhirnya kami lebih memilih 'kepuasan' daripada uang.
Sungguh beruntung, entah apa yang menuntun kami ke Sonya Homestay yang memberikan kami sebuah kamar dengan harga Rp 100.000/malam include breakfast untuk 2 orang. Letaknya di pinggir jalan dan berada di pusat keramaian, dan ternyata ada banyak bule2 muda juga yang menginap disitu (lumayan cuci mata). Bahkan kami juga bertemu dengan sekumpulan orang muda dari Denpasar yang ternyata juga lagi "escape from Nyepi" istilah mereka. Entah kasihan melihat 2 bocah ini atau memang mereka ramah dan sopan, mereka sempat menawarkan kami untuk bergabung dan pulang bareng besoknya. Well, ingat kata orangtua : jangan menerima apapun dalam bentuk apapun dari orang asing. Oke maaf, kami menolaknya dengan halus.
Langit masih terang, pertunjukaan sunset belum dimulai, kami pun langsung mencari pantai, pantai yang sepi, karena kami mau menghindari makhluk2 4l4y yang gak bisa lihat orang senang dan cuma bisa membatasi ruang gerak saja. Akhirnya dapatlah pantai ini (maaf, lupa namanya, soalnya gak terlalu terkenal) yang masih sederetan Pantai Senggigi. Sama dengan Pantai Senggigi dan sederetan pantai lainnya, pantai ini adalah pantai pasir hitam. Uniknya pantai ini mempunyai sepetak daratan hijau yang tidak jelas apakah itu rumput atau lumut, bahkan kalo boleh berpendapat saya bilang itu lebih mirip seperti bulu, ya, bulu hijau.
Saya dan Emily pun menghabiskan sore itu disitu : tidur2an di permukaan laut sambil menyanyikan lagu2 yang bertemakan alam Indonesia. Entah mengapa jiwa nasionalisme kami bergelora kala itu. Setelah itu kami menikmati sate bulayak yang merupakan makanan tradisional yang banyak dijual dipinggir pantai. Karena hari sudah gelap dan warung2 sudah mau tutup, kami pun dapat sate yang menjadi makan malam kami dengan harga Rp 8000 (maksudnya lebih murah dari harga aslinya).
Tidur malam kali ini puas dan bangun2 udah disediain sarapan sama si empunya homestay : banana pancake and a cup of tea. Pas liat sarapannya meja seberang, ih wow buah-buahan. Dasar bule, cari sensasi aja!
Setelah sarapan, langsung mandi dan siap2 buat check out. Beres sana-beres sini, sekitar jam 9 pagi langsung cus ke Mataram buat cari oleh2. Kunjungan terakhir adalah penjual nasi balap puyung cap Inaq Esun yang terkenal itu. Kenapa terkenal? Silahkan Anda searching sendiri sejarahnya di google, karena saya tidak mau ngomong panjang lebar soal makanan yang berhasil membuat saya, Emily dan Lady (motornya si Emily) mondar mandir sepanjang Jalan Sriwijaya, Mataram, dan ternyata tempat jualannya sudah pindah. Ternyata sumber2 informasi di internet sudah expired. Jadilah kami mencoba nasi puyung Bi Anik (di jalan Sriwijaya juga kalo gak salah) atas rekomendasi seorang ibu yang kami tanyai di pinggir jalan. Untung rasanya tidak mengecewakan, dan dengan harga Rp 8000/porsi nasi yang tampangnya tidak meyakinkan itu membuat kami kepedasan setengah mati.
Nasi puyung mengakhiri perjalanan kami di Lombok. Kami pun tiba di Pelabuhan Lembar, oh ya, sempat di-stop bapak2 di depan pelabuhan, kirain kami salah jalur lagi (maklum trauma sama pak polisi) eh ternyata calo. Pokoknya biar aman jangan coba2 sama yang namanya calo ya. Dengan ongkos yang sama Rp 101.000/motor, kami pun kembali ke Denpasar dengan duduk menggembel di geladak kapal karena hari itu rame sekali, mungkin karena arus balik bagi para perantau yang tinggal di Bali.
Bye Lombok...^_^
Welcome normal life... -_-