Tuesday, August 27, 2013

Nusa Lembongan : The Quiet Island

Hello... Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang Nusa Lembongan, salah satu pulau kecil di sebelah tenggara Pulau Bali. Dan kali ini partner jalan saya yaitu seorang gadis, 18 tahun, ya sebut saja Melati, karena memang namanya Kristina Melati Pasaribu. Actually, she's my younger sister. So, anak ini datang ke Bali buat mengunjungi kakaknya yang baik hati ini, tapi waktunya agak kurang tepat, karena saat itu jadwal ujian saya sudah dekat. Well, seperti yang saya katakan barusan, untungnya saya memang baik hati dan juga tidak sombong, jadinya saya tetap membawa adik saya ini untuk menikmati Bali. Lagi-lagi, there's always a holiday before an exam.

Oke, gak afdol rasanya ke Bali kalo gak menikmati lautnya, dan cara yang paling tepat untuk menikmati laut  adalah dengan diving, snorkeling, atau watersport. Dengan mempertimbangkan banyak hal, maka pilihan jatuh ke snorkeling di Nusa Lembongan, tempat terbaik nomor 3 untuk snorkeling di Bali (setelah Menjangan dan Amed)  Dengan bermodalkan tanya-tanya Emily, teman saya si pemilik blog JALAN-JALAN MAKAN yang sudah pernah menginjakkan kaki di pulau tersebut, saya mempersiapkan perjalanan ini.  

Sekitar pukul 7 pagi saya dan Melati sudah standby di Pantai Sanur yang di dekat warung Mak Beng yang jual sup ikan yang terkenal itu (bagi yang sudah pernah makan disitu, pasti tahu). Tepat pukul 8 pagi, setelah membeli tiket jukung (sejenis slow boat) seharga Rp 25.000/orang kami pun berangkat bersama penumpang lainnya yang dominan adalah bule. 

Sekedar informasi, sebenarnya ada satu lagi transport ke Nusa Lembongan yang lebih cepat yaitu fast boat (Rp 60.000/orang). Nah, ternyata untuk para bule ini mereka dapat pelayanan slow boat dengan harga fast boat. Tapi itu juga bisa terjadi pada turis lokal yang kelihatan tidak bijaksana (dibaca : lugu). Jadi kalo mau beli tiket jukung/slow boat ke Nusa Lembongan silahkan berjalan sedikit (sekitar 15 meter) ke kiri dan disana Anda akan menemukan loket penjualan tiket Public Boat. Walaupun disana tertulis Public Boat ke Nusa Penida (tetangganya Nusa Lembongan) jangan engan untuk bertanya apakah ada tiket jukung ke Nusa Lembongan. Kalo Anda ditanya ke Jungut Batu atau ke Mushroom, jangan bingung (seperti  yang saya lakukan saat itu), itu adalah nama daerahnya. Jadi ada 2 pelabuhan di Nusa Lembongan : di Jungut Batu dan di Mushroom. Dan karena jarak kedua daerah itu cuma 1,5 km, maka tidak masalah. Saat itu saya pun iseng-iseng memilih Jungut Batu.

Oke, perjalanan Sanur-Jungut Batu memakan waktu 1,5 jam-seperti biasa, ternyata cuaca mendung, angin yang kencang, ombak yang tinggi pada hari itu tidak mempengaruhi perjalanan.

 
This is it, Nusa Lembongan.Sesampainya di pulau ini saya dan Melati langsung cari penginapan, entah kenapa kami begitu takut bakal gak dapat penginapan dan takut bakal terlantar di pulau itu, padahal itu sangat tidak mungkin, melihat kenyataan ada banyak sekali homestay sampai hotel berbintang empat disitu. Akhirnya kami dapat penginapan, ya sejenis bungalow, seharga Rp 100.000/kamar, yang sesuailah dengan kantong mahasiswa. Eh ternyata beberapa bule yang tadi satu jukung sama kami nginapnya juga disitu. Setelah meletakkan barang-barang kami pun keliling mencari jasa snorkeling. Setelah satu jam melalang buana mencari jasa yang bisa membawa kami snorkeling (ini terjadi demi mendapatkan yang termurah) maka kami mendapatkan harga Rp 300.000 untuk satu boat, sudah termasuk peralatan snorkeling, ke 2 spot snorkeling, dengan waktu sepuasnya. 

For your information,  Juni, Juli, Agustus adalah high season. So, penginapan bisa naik dua kali lipat, dan begitu juga dengan biaya snorkeling ini. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan penduduk lokal, snorkeling ke 1 spot aja bisa cuma bayar Rp 100.000 per boat, terserah orangnya mau berapa, anggap saja kita cuma perlu bayar uang bensin untuk boatnya. Murah kan?

 
Oke, karena kami sudah bayar mahal (*agak sakit hati) marilah nikmati ini semua sepuasnya! Karena cuma ada kami berdua dan si abang tukang boat, benar-benar serasa naik kapal pribadi, eh, maksudnya boat pribadi. Kami menghabiskan waktu sekitar 3 jam-an snorkeling di 2 spot : di Mangrove point dan The Wall.
 
The Wall sebenarnya berada di Nusa Penida. Sesuai namanya spot ini tepat berada di pinggiran tebing. Kelebihan spot ini adalah terumbu karangnya yang sangat bervariasi dan berwarna warni. Selain itu tempatnya juga sangat dangkal jadi harus hati-hati jangan sampai nginjak terumbu karangnya. 
Mangrove point, heran kenapa namanya seperti itu, karena saya tidak menemukan adanya mangrove. Ternyata mangrovenya sudah tidak ada lagi. Kelebihannya adalah banyak ikannya. bisa dibilang mungkin ini Kingdom of Fish-nya. Baru nyebur udah langsung dikerubungi sama ikan-ikan cantik. Oh ya, jangan lupa mempersiapkan sepotong roti untuk disedekahkan buat ikan-ikan disini ya, biar makin heboh! (sorry yang disini gak ada gambarnya)
Oh, ya ini kedua kalinya saya snorkeling, maka saya dapat melakukan perbandingan, kalo snorkeling disini memang lebih bagus daripada di Gili Trawangan.
 
Setelah puas snorkeling dan saat itu mumpung hari masih sore, kami memutuskan untuk menyewa motor buat mengelilingi pulau. Kami menyewa 1 motor  dengan harga Rp 40.000 untuk sampai jam 9 malam saja. Bahkan sebelum hari mulai gelap kami sudah kembali ke penginapan karena memang sudah selesai mengelilingi pulau. Padahal kami sempat mampir sebentar di daerah Mushroom yang ternyata ada banyak bar disana, dan sempat juga melihat kegiatan penduduk lokal panen rumput laut. Ya, pulau ini memang kecil sekali dan sangat sederhana.
 
Oh ya satu lagi, sepertinya pulau ini mau mengikuti jejak Gili Trawangan yang mempunyai tradisi membuat party tiap malam. Jadi, di pinggir jalan saya sempat membaca brosur bahwa ada bar yang mengadakan party malam itu (sama seperti di Gili Trawangan). Dan karena penasaran kami pun mampir ke bar tersebut. Karena di brosur dikatakan party-nya dimulai pukul 7 malam, maka kami datang pukul setengah 8. But, nobody was there. Maka kami pun memutuskan untuk pulang saja dan tidur, karena besok pagi jam 8 kami harus kembali ke Sanur naik jukung lagi. Dan menurutku tak akan ada party seheboh di Gili Trawangan. Yasudahla, Nusa Lembongan akan lebih baik jadi pulau yang kalem saja. ;)

Monday, August 26, 2013

Colorful

 
Miss Selfridge dress // Creepers shoes // Topshop socks//  Red bowler hat

Setelah Mei, Juni, Juli berakhir, dan sekarang hampir di akhir Agustus akhirnya saya pun menyempatkan diri buat nge-post lagi. Gila memang, kalo blog ini bisa berjamur, gak kebayang udah berapa karung jamurnya kalo dipanen. Sorry for being a lazybones in cyberspace, cause I've to face the real world (bela diri nih ceritanya).
Udah libur semester gini nih ceritanya, sambil menunggu waktu yang tepat buat pulang kampung nan jauh di mato, di Tebing Tinggi, Sumatera Utara sana, baru kepikiran buat nge-share.
 

Tuesday, April 23, 2013

Balinese

 Akhirnya setelah 1 tahun, 8 bulan menetap di Bali, saya pun mendapat kesempatan buat mengenakan kebaya bernuansa Bali. Hiayyyyyy ^_^ (sorry agak norak). Jadi, ceritanya ada kegiatan di kampus yaitu Seminar Nasional dan Bakti Sosial Wilayah IV PTBMMKI (Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia). Nah, karena dalam acara ini ada undangan dari luar Bali, terus biar nunjukin budaya Bali, maka, pas acara Welcome Party-nya semua panitia disuruh pake baju Bali. Yang cewek pake kebaya plus selendang  dipinggang, dan  bawahan yang seperti songket, (kalo di Bali  disebut kamen). Kalo yang cowoknya menggunakan udeng (sesuatu yang pakai di kepala, juga sering dipakai oleh 'Bli-Bli") dan kamen juga (tapi kamennya bedalah sama kamen cewek). Kalo bingung yang mana yang namanya udeng, mungkin bisa lihat yang dipakai oleh teman saya Komang Wahyu Sudarmadi.

Oh ya, ngomong2 judul pos ini (yaitu : Balinese) secara tidak langsung hanya mengacu pada satu-satunya cowok yang fotonya terpampang di post ini (dibaca : Wahyu). Soalnya tidak lain tidak bukan, semua cewek-cewek yang ada disini adalah anak2 luar Bali alias pendatang semua (maaf, tidak bermaksud rasis ya). ^_^ 


 
kiri ke kanan : Saya (asal : Medan) , Wahyu (asal : Bali), Priscilla (asal : Batam)
 
kiri ke kanan : Emily (asal : Kendari) , Essy (asal : Jakarta), Saya
Wahyu dan Emily = Agung Hercules dan Astuti versi Bali

Monday, March 25, 2013

Still in Lombok (Day 3 - Day 4)

Setelah ber-dada-didi dengan Gili Trawangan, lupa tepatnya jam berapa, tapi saat itu langit masih terang, saya dan Emily pun cus mencari penginapan di sekitar Pantai Senggigi, dan kami masih melewati jalan yang sama dengan jalan berangkat kemarin. Sepanjang perjalanan masih galau mau menentukan mau nginap dimana : di Senggigi atau di Mataram. Pertimbangannya, kalo di Mataram bisa dapat penginapan murah (dibawah 100ribu per malam) tapi gak ada yang bisa dilihat. Sedangkan kalo di Senggigi, penginapannya lebih mahal, tapi banyak yang bisa dikunjungi. Akhirnya kami lebih memilih 'kepuasan' daripada uang.
Sungguh beruntung, entah apa yang menuntun kami ke Sonya Homestay yang memberikan kami sebuah kamar dengan harga Rp 100.000/malam include breakfast untuk 2 orang. Letaknya di pinggir jalan dan berada di pusat keramaian, dan ternyata ada banyak bule2 muda juga yang menginap disitu (lumayan cuci mata). Bahkan kami juga bertemu dengan sekumpulan orang muda  dari Denpasar yang ternyata juga lagi "escape from Nyepi" istilah mereka. Entah kasihan melihat 2 bocah ini atau memang mereka ramah dan sopan, mereka sempat menawarkan kami untuk bergabung dan pulang bareng besoknya. Well, ingat kata orangtua : jangan menerima apapun dalam bentuk apapun  dari orang asing. Oke maaf, kami menolaknya dengan halus.
 
Langit masih terang, pertunjukaan sunset belum dimulai, kami pun langsung mencari pantai, pantai yang sepi, karena kami mau menghindari makhluk2 4l4y yang gak bisa lihat orang senang dan cuma bisa membatasi ruang gerak saja. Akhirnya dapatlah pantai ini (maaf, lupa namanya, soalnya gak terlalu terkenal) yang masih sederetan Pantai Senggigi. Sama dengan  Pantai Senggigi dan sederetan pantai lainnya, pantai ini adalah pantai  pasir hitam. Uniknya pantai ini mempunyai sepetak daratan hijau yang tidak jelas apakah itu rumput atau lumut, bahkan kalo boleh berpendapat saya bilang itu lebih mirip seperti bulu, ya, bulu hijau.
 
Saya dan Emily pun menghabiskan sore itu disitu : tidur2an di permukaan laut sambil menyanyikan lagu2 yang bertemakan alam Indonesia. Entah mengapa jiwa nasionalisme kami bergelora kala itu. Setelah itu kami menikmati sate bulayak yang merupakan makanan tradisional yang banyak dijual dipinggir pantai. Karena hari sudah gelap dan warung2 sudah mau tutup, kami pun dapat sate yang menjadi makan malam kami dengan harga Rp 8000 (maksudnya lebih murah dari harga aslinya).

Tidur malam kali ini puas dan bangun2 udah disediain sarapan sama si empunya homestay : banana pancake and a cup of tea. Pas liat sarapannya meja seberang, ih wow buah-buahan. Dasar bule, cari sensasi aja!
Setelah sarapan, langsung mandi dan siap2 buat check out. Beres sana-beres sini, sekitar jam 9 pagi langsung cus ke Mataram buat cari oleh2. Kunjungan terakhir adalah penjual nasi balap puyung cap Inaq Esun yang terkenal itu. Kenapa terkenal? Silahkan Anda searching sendiri sejarahnya di google, karena saya tidak mau ngomong panjang lebar soal makanan yang berhasil membuat saya, Emily dan Lady (motornya si Emily) mondar mandir sepanjang Jalan Sriwijaya, Mataram, dan ternyata tempat jualannya sudah pindah. Ternyata sumber2 informasi di internet sudah expired. Jadilah kami mencoba nasi puyung Bi Anik (di jalan Sriwijaya juga kalo gak salah) atas rekomendasi seorang ibu yang kami tanyai di pinggir jalan. Untung rasanya tidak mengecewakan, dan dengan harga Rp 8000/porsi nasi yang tampangnya tidak meyakinkan itu membuat kami kepedasan setengah mati.
Nasi puyung mengakhiri perjalanan kami di Lombok. Kami pun tiba di Pelabuhan Lembar, oh ya, sempat di-stop bapak2 di depan pelabuhan, kirain kami salah jalur lagi (maklum trauma sama pak polisi) eh ternyata calo. Pokoknya biar aman jangan coba2 sama yang namanya calo ya. Dengan ongkos yang sama Rp 101.000/motor, kami pun kembali ke Denpasar dengan duduk menggembel di geladak kapal karena hari itu rame sekali, mungkin karena arus balik bagi para perantau yang tinggal di Bali.

Bye Lombok...^_^
Welcome normal life... -_-

Freedom

Well, banyak cara buat menikmati liburan berkelas walaupun dengan budget minim. Salah satunya adalah menjadi backpacker. Menurutnya saya gak selamanya liburan ala backpackers itu identik dengan liburan yang penuh dengan keringat (karena kemana2 jalan kaki) atau tidur di lesehan. Prinsipnya ada hal2 yang perlu dipangkas untuk menekan biaya, dan ada hal yang perlu mengorbankan sejumlah uang untuk mendapatkan kepuasan. Oke, tapi kali ini saya tidak mau membahas soal backpacker tapi membahas mahasiswa (sorry kalo intronya agak sedikit gak nyambung). Jadi, walaupun masih berstatus mahasiswa alias belum berpenghasilan, jangan pikir kita (dibaca:mahasiswa) gak bisa kemana-mana. Intinya ada 2 : menabung. dan jadi backpacker. Yep, kalo kamu cuma mengharapkan uang dari orangtua buat liburan jangan harap bakal dikasih untuk seterusnya. Sekali, dua kali, okelah diizinkan. Tapi kalo keseringan, yang ada kamu disuruh pulang kampung terus dikawinkan sama anak tetangga ( untungnya orangtua saya tidak sesadis itu).  

Nah keuntungan jadi anak perantauan itu adalah kebebasan, tapi ingat kebebasan yang bertanggungjawab (Hihihi, jadi ingat pelajaran PKn waktu SMP). So, jangan sia2kan kepercayaan yang diberikan ortu pada kita. Ngomong2 soal kepercayaan, erat kaitannya juga dengan nilai kuliah dan kesehatan. Kalo nilai kuliahmu bagus, otomatis ortu percaya kalo kita pandai mengatur waktu. Kalo kesehatan kita bagus itu artinya kita bisa mengurus diri sendiri. Jadi jangan coba2 gak makan hanya gara2 mau hemat buat jalan2. Oh ya satu lagi kalo ortu menelepon jangan suka mengeluh. Mengeluh juga menunjukkan kalo kita gak bisa ngurus diri sendiri. So, mulailah bangun kepercayaan ortumu dari sekarang...

Oke sekian dulu pidato dari saya. Mohon maaf kalo kali ini saya sok bijak ^_^

Saturday, March 23, 2013

Lombok Trip - Snorkeling 3 Gili (Day 3)

Setelah ajeb-ajeb kemaren malam- cuma sampe jam 12 aja, maklum kita berdua kan Cinderella, jadi gak boleh lewat tengah malam, beruntung sekali masih bisa bangun subuh2 buat ngejar sunrise. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kemaren udah gagal lihat sunset Gili Trawangan, kali ini gak boleh gagal juga lihat sunrise-nya, maka tanpa mandi kami pun langsung gowes menuju pantai ke arah timur. Di perjalanan kami berdua sempat shock melihat Blue Marlin (tempat ajeb-ajeb kemaren) ternyata baru saja bubar. Gileeee emang bener nih pulau kagak ada tidurnya, gak ngantuk kali ya??? Apalagi saat ngeliat wajah-wajah para bule yang masih ngobrol2 berdiri di pinggir jalan tuh,  lebih seger dari muka kita. ckckck

Sesampenya di pantai, jeng-jeng-jeng-jeng gelap gulita menutupi samudra raya. Nah yaudah deh daripada balik ke penginapan, buang2 tenaga, jadilah saya dan Emily tidur2an dulu di pantai.
 
Setelah melihat seberkas cahaya kami pun mulai beraksi Hiaaaaatch...
Berbagai pose dan gaya : iri banget liat Emily yang bisa kayang, maka saya coba gaya lilin aja.  Entah aneh entah norak, udah gak peduli lagi, urat malu udah putus, yang penting gak ada yang kenal!
Setelah sang surya sudah PeDe menampakkan dirinya, maka kami pun kembali ke penginapan, menikmati sarapan pagi yang telah menjadi hak kami, lalu mandi dan bersiap2 untuk check out.

 

Check out, balikin sepeda sewaan, terus lagsung ke jasa snorkeling. Gak sabarrrrr... :) 
Sampe disana, syok ngelihat ramenya orang2 yang nantinya bakalan jadi teman senasib seperjuangan. Dan ihh wow, mayoritas bule (hehehe)

 
Akhirnya laut disini yang menjadi guru bagi saya yang belum pernah snorkeling sama sekali. Heran ya, bahkan selama di Bali pun saya belum pernah snorkeling. Oh ya, sempat kekelep pertama kali turun karena gak tau cara bernafas yang benar pake google mask. Untung ada life jacket. Padahal awalnya sok-sokan gak mau pake life jacket biar kayak para bule, biar  terlihat keren, tapi untung  Emily segera menyadarkan saya. Mungkin karena panik juga kali ya. Akhirnya di spot berikutnya di Freedom of Fish,  karena terlalu penasaran, saya memberanikan diri untuk melepas life jacket dan nyelam ke bawah sebentar. Sungguh keren! Sayang gak ada kamera underwater
Gak kerasa 5 jam sudah, dibawa ke 4 spot snorkeling sambil mengelilingi 3 Gili : Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air, dan sempat mampir juga di Gili Air buat lunch. Pokoknya belum puas (nah lo).
Setelah dibalikin ke Gili Trawangan, gak pake mandi langsung pake baju di pinggir pantai (serasa bule), ambil barang2 yang dititipin, dan langsung beli tiket balik ke Bangsal. Eh ternyata tiketnya lebih murah : Rp 10.000/ kepala
Bye Gili Trawangan! See you...

I can't  forget this Party Island 
Island that never sleep
Island of freedom ^_^