Saturday, August 2, 2014

It's Never too Late for Summer

 

 


 

 

July has been a great teacher for me. Many things happen arround me : love, faith, happiness, patience,  sorrow, desperation. 
I learn about a loyalty in friendship and I found that hard times will always reveal true friends.
I learn to understand others. Everyone has their own story. A reason they are the way they are.
And my family is my greatest blessing.  Family is a place where I don't have to wear mask because I feel safe (I think many of you will agree with me ^_^) The strength of family like the strength of an army, is in its loyalty to each other.   
Life lesson is not talking about theory, and how much A plus you got for the exam.  Life lesson is not easy, and it's lifelong. Yeah, as long as we live, we have to face it!
Thank you for the great lesson, July! And what next, August?


Photographer : Johan Andrasili, go follow his instagram (johannandrasili/andrasili_photograph) for more awesome pics!
Location : Mertasari Beach, Sanur, Bali

Wednesday, July 30, 2014

La Plancha : Sunset, Beach and Drink



Kali ini saya mendapat kunjungan untuk yang kedua kalinya dari seorang teman dari Yogyakarta. Yaps, namanya Fhattresia dan kalo gak salah di kunjungannya yang pertama kali, saya juga sempat memposting tentang perjalanan saya membawanya jalan2 di Bali. Ngomong2 kapan ya giliran saya yang ke Jogja? Hmmm...
Memang begini risiko tinggal di daerah wisata populer, banyak yang ngunjungi. Sampai akhir tahun 2014 aja sudah ada 3 orang yang menghubungi akan datang ke Bali dan ngajak ketemuan, baik itu sodara2 maupun teman2 SMA. Okay, as long as I can, yok cussss kawan!  ^_^

Location : Jl. Dhyana Pura, Seminyak, Bali

Monday, July 21, 2014

900 Mdpl di Kaki Gunung Batukaru

Pos blog ini kupersembahkan buat My Ama21ng Family, khususnya teman-teman seperjuangan dalam pendakian Gunung Batukaru pada tanggal 19 Juli 2014 (Anthony, Herry, Wahyu, Rustiari, Andrie, Apolo, Dhitayoni, Arjuna, Cok, Nuge, Fian, De Giwal, Renaldi, Reno, Gus Desi, Yogi, dan Ardika) dan juga beberapa teman-temanku dari Calsequestrin (Ari, Risa dan Gung Bayu). 


19 Juli 2014
Pukul 4 dini hari, beberapa orang dari rombongan sudah bangun buat memasak air untuk menyeduh mie instan masing-masing. Inilah sarapan kami untuk mengawali pendakian hari ini.  Kemudian, pukul setengah enam pagi, setelah semuanya sudah beres-beres, mempersiapkan perlengkapan mendaki masing-masing, sebelum berangkat, kami masih sempat untuk foto bersama. Oh ya, salah satu teman kami Ardika mengundurkan diri untuk tidak ikut mendaki karena suatu hal dan kini rombongan ini jumlahnya menjadi genap 20 orang. 



Kami pun berangkat- masih mengendarai motor dan 1 mobil dimana nantinya menjadi tempat untuk meletakkan barang-barang yang tidak dibawa dalam pendakian. Akhirnya kami tiba di  suatu tempat (saya menyebutnya pintu gerbang Gn. Batu Karu – 900 mdpl) dimana mulai dari situ semuanya akan ditempuh dengan berjalan kaki saja. 
 

Gunung Batukaru terletak di Wangaya Gede Tabanan, Bali, dengan ketinggian 2276 meter di atas permukaan laut, merupakan gunung tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung (3142 mdpl). Jalan setapak yang dilalui dikelilingi hutan lebat, dan kebanyakan berupa tanah dan akar pohon. Jalannya agak licin,  entah itu sisa-sisa hujan kemarin atau memang sudah begitu dari sananya.  Hutan yang cukup lembab menjadi habitat yang baik buat pacet atau lintah. Benar saja, beberapa kali saya menyentuh tanaman atau batang pohon, ada saja lintah yang sudah menari-nari di jari tangan saya. Untungnya sebelum mendaki kami sudah tahu soal lintah-lintah ini, jadi sudah sempat mempersiapkan air garam dan air tembakau , kami juga sebisanya menggenakan pakaian serba tertutup.


Kami tak mendapatkan seorang pemandu untuk pendakian ini, dan tak seorang pun dari rombongan ini pernah mendaki Gunung Batukaru  sebelumnya. Bahkan, Ari salah satu dari rombongan kami yang ternyata adalah local boy juga belum pernah menjelajahi Batukaru, dan kami mempercayainya untuk berada di baris terdepan. Ada senior-senior kami yang sudah pernah mendaki Gn. Batukaru tanpa pemandu, dan dari merekalah kami mendapatkan banyak informasi.Mereka bilang ikuti saja jalan setapak sempit yang sudah ada, dan di sepanjang jalan ada  plastik-plastik  yang diikat di pohon atau  botol-botol plastik  yang disangkutkan di dahan-dahan pohon sebagai  penanda kalo itu adalah jalan yang benar. Baiklah, kalo mereka bisa, kami pun pasti bisa!


Memberi tanda secara konsisten berupa tali plastik biru disetiap percabangan, dan di tempat-tempat yang menghasilkan kebingungan supaya pulangnya gak nyasar

 
Sesekali melihat kompas juga dong ya!


Plang kuning - 1700 mdpl dan plang-plang lainya menjadi salah satu motivasi untuk melanjutkan perjalanan mencapai puncak 


Mulai dari 900 mdpl sampai 2276 mdpl,  paling banyak melihat pohon, lumut, dan tumbuhan paku. Pohon kecil, pohon sedang, pohon besar,  pohon yang batangnya dipenuhi lumut, pohon tumbang, dan pohon lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Yah pemandangan yang cukup monotonlah…



Sekitar pukul 12.30 WITA kami tiba di Pura Puncak Kedaton yang merupakan puncak Gunung Batukaru. Tidak seperti Gunung Batur atau  gunung lainnya yang menyuguhkan pemandangan indah untuk dinikmati dari atas puncaknya, di Puncak Gunung Batukaru, Anda hanya akan melihat Pura dan sebuah plang bertuliskan PURA PUNCAK KEDATON. Pantas saja Gunung Batukaru memang lebih populer sebagai wisata spiritual.
 
Bersama cewek-cewek Ama21ing yang tangguh, perkasa, luar biasaaaa!!!!

Kira-kira selama satu setengah jam saja kami berada di puncak, dan setelah selesai makan, sembahyang, dan foto-foto kami pun langsung bergerak untuk turun. Memang tidak perlu berlama-lama, apalagi kami harus mengejar waktu sebelum hari mulai gelap. Untuk naik ke puncak kami menghabiskan waktu kurang lebih 6 jam (udah termasuk berhenti beberapa kali untuk istirahat, sembahyang, dan foto-foto), lebih cepat dari perkiraan sebelumnya yaitu 8-10 jam. Maka, target kami untuk  perjalanan turun adalah kurang dari 6 jam atau maksimal sudah di pintu gerbang Gn. Batukaru atau di ketinggian 900 mdpl pada  pukul enam sore. 

Oke, jadi cerita di atas sebenarnya baru intro aja, sekarang saya mau cerita soal perjalanan turun dari Gunung Batukaru. Karena sesungguhnya, menurut saya, inilah klimaksnya. Oh ya mulai dari sini saya akan menggunakan bahasa yang gak baku. So, biasain aja ya!

Gak seperti perjalanan waktu naik, pada saat perjalanan turun kami terpecah menjadi 2 kelompok, biar gampang sebut aja  “kelompok yang duluan” dan “kelompok yang belakangan”, dan aku berada di kelompok yang belakangan bersama tujuh orang lainnya (Apolo, Nuge, Cok, Wahyu, Gung Bayu, Gusdesi, dan Risa). Pertama perlu aku ingatkan, adanya istilah kelompok duluan dan kelompok belakangan ini hanya untuk mempermudah pemahaman untuk cerita selanjutnya aja.

Jadi kenapa bisa ada 2 kelompok ini? Jawabannya adalah karna aku. 

Nah, di kelompok dimana aku berada ini, aku diletakkan di baris terdepan. Teman-temanku adalah orang-orang yang cukup pengertian, mereka gak bakal meletakkanku di pertengahan barisan , karna itu artinya akan terjadi perpecahan kelompok lagi. Atau mereka lebih gak mungkin meletakkanku di baris paling belakang, karena yang terjadi berikutnya aku bakal ketinggalan jauh, sendirian dan kesasar – percayalah, ini lebih merepotkan.

Hal yang selanjutnya terjadi adalah jari-jariku mulai ngerasa sakit, sepertinya karna perjalanan menurun, gesekan antar jari kaki dan sepatu jadi semakin besar, jadinya perih. Dan kira-kira di sepertiga perjalanan turun di setiap turunan lututku mulai gemetaran. Sepertinya aku terserang hipoglikemia. Baru setengah perjalanan, dan aku  udah benar-benar lemas. Persedian makanan dan minuman udah gak ada sama sekali. Aku masih menahan perih di jari-jari kaki, tapi aku gak berani mengucapkan kata sakit sama sekali. Ketika melalui turunan yang sebenarnya gak terlalu curam pun lututku udah gak sanggup. Aku lebih memilih buat ngesot. Gak peduli tangan dan badanku udah kena tanah. Gak peduli lagi kalo ada lintah di setiap batang pohon tempat aku berpegang ketika jalan. Disaat itu hanya ada 6 orang saja termasuk aku. Gusdesi dan Risa sudah menyusul kelompok yang duluan jauh sebelum keadaanku makin parah. Perjalanan kami benar-benar santai (re : lelet) Aku ingat, Apolo dari awal hingga sampai detik itu dengan konstan masih bernyanyi-nyanyi dan bercuap-cuap tiada henti, membuat suasana ceria dan ramai. Aku juga masih ingat Apolo, Nuge, Cok, Wahyu, dan Gung Bayu juga sempat bermain radio-radioan sepanjang perjalanan. Aku dengar semua celotehan mereka, aku ingat semua. Tak ada masalah dengan pikiranku, aku tak merasa pusing, dan pandanganku juga tak kabur, hanya lututku yang  gemetaran dan tak stabil serta jari-jari kakiku yang sakit.. Aku tak bisa pingsan dan aku memang tak mau pingsan. Sudah cukup rasanya melibatkan teman-temanku ikut acara jalan santai ini. Akhirnya aku tak sanggup melangkah dengan kaki sendiri, aku goyang. Apolo mengulurkan tangannya, dan aku bertopang pada Apolo. Kedua tanganku berpegang padanya, dia menahan setengah berat badanku. Dan dia masih tetap kelihatan bersemangat.  Benar-benar wanita tangguh.

Tiba-tiba gerimis, lalu disusul oleh air mataku. Ya, aku menangis. Cepat-cepat kuhapus airmataku, soalnya aku malu. Beberapa saat kemudian Nuge sempat bertanya padaku dan Apolo tentang hal apa yang akan dilakukan setalah sampai di end point. Aku jawab kalo aku mau langsung tepar, tapi sesungguhnya aku bohong. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan selain tepar. 

Hujan makin deras, hari sudah benar-benar gelap, dan aku mendengar ada yang datang, kupikir kami sudah mendekati end point, tapi ternyata belum. Gusdesi dan Reno datang menjemput kami.  Apolo masih setia menopangku, dan Gusdesi langsung membantu menuntunkun dari belakang. Saat itu aku mulai nangis lagi, kali ini terisak-isak (parah!). Aku berjalan sambil menunduk saja, tak melihat jalan ke depan lagi.  Aku dituntun bagai orang buta, aku benar-benar tak berdaya. 

Akhirnya, kami tiba  di 900 mdpl. Disana, teman-teman kami yang lain sudah menanti penuh tanda tanya.. Langsung kupeluk Apolo, Gusdesi, Nuge, dan teman-temanku yang lain sambil mengucapkan terimakasih dengan suaraku yang gemetaran. Jadi, itulah hal pertama yang kulakukan sesampainya di end point.

Terimakasih teman-temanku.

Aku menangis bukan karna rasa sakit atau karna takut mati. Aku gak punya alasan buat takut nyasar atau mati di tengah hutan karna aku percaya kalian gak akan meninggalkanku. Kita tidak akan meninggalkan satu satu sama lain kan…
Saat kalian memegang tanganku, menopangku, menuntunku, dan setiap kata-kata penyemangat yang kalian lontarkan membuatku terharu dan sangat menyentuh hati. Kalian bagaikan cheerleaders dalam pertarunganku melawan rasa takut dan letih.

Gunung Batukaru memang tak seindah yang kuharapkan. Tapi pendakian ini telah memberiku pelajaran berharga : menahan diri untuk tidak berkeluh kesah, tidak egois, menghormati alam sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, serta yang terpenting mengajarkan makna sebuah persahabatan.

Pendakian ini tidak akan membuatku kapok. Aku masih mau kok ikut pendakian berikutnya, asal bersama kalian (hehehe) Maaf ya, sudah banyak merepotkan.  

Oh ya, salah satu dari kalian yang membaca kisah ini pasti ada yang berpikir : sumpah Putri ini lebay banget! Karna aku sendiri pun berpikir apa yang aku tulis ini memang agak lebay :P Tapi yasudahlah, untuk saat ini aku gak peduli. Aku hanya menuliskan apa yang terlintas di kepalaku.

Sekali lagi, terimakasih banyak teman-teman. Maaf kalo aku belum  bisa membalas kebaikan kalian. Aku  berdoa semoga Tuhan yang membalas segala kebaikan hati kalian dan melalui tulisan ini aku ingin mengungkapkan rasa terimakasihku yang besar. Aku sayang kalian semua. Maafkan kealayan saya, tolong dimaklumi sebesar-besarnya,  kisah ini  emang agak-agak ya, tapi percayalah ini kisah nyata!

FYI, beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan selama mendaki di Gunung Batukaru :
1.  Jangan bilang “ngindih yeh” karna dalam Bahasa Indonesia itu artinya minta air dan konon datang hujan setelah itu.
2.  Jangan bilang capek, konon perjalanan terasa semakin jauh.
3. Konon disana ada “due macan putih”  atau penunggu hutan berwujud macan. Jadi jangan sebut macan.
Kita boleh percaya boleh tidak. Tapi menurut saya pribadi : “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Anggap saja kita sedang bertamu ke rumah orang, maka sudah sewajarnya kita berlaku sopan. Atau kalo kita percaya bahwa gunung beserta isinya itu adalah ciptaan Tuhan, maka sudah seharusnya kita menjaga dan tidak merusaknya. Secara pribadi, menurut saya makna dari pantangan-pantangan tersebut yaitu membuat saya belajar untuk menahan diri, mengendalikan emosi, dan menjauhkan pikiran-pikiran kotor dan jahat. Dan saya yakin bahwa salah satu tujuan sebuah pendakian adalah untuk memuja karya tangan Tuhan Yang Maha Esa dan mensyukurinya. Sekian dan Terimakasih ^_^

 
 Hard times will always reveal true friends